Penyebab Murahnya Produk China, Produk China praktis membanjiri seluruh negeri ini. Sebenarnya bukan hanya Indonesia, tetapi produk China juga sudah menyerbu ke segala penjuru negara di dunia ini. Sebenarnya, bagaimana karakteristik orang-orang Tenglang alias China dalam melebarkan sayap perdagangannya?
Negeri Tirai Bambu itu bukan cuma menjadi produsen skala besar, tetapi juga telah membangun sebuah jaringan perdagangan yang kuat dan terpadu di seluruh dunia.
Kita tidak bisa menutup mata. Bagi banyak orang, produk China dari peniti, mainan anak, tekstil, elektronik, kedokteran hingga suku cadang otomotif jelas sekali menguntungkan.
Produsen berbagai produksi yang kelimpungan menghadapi berbagai kebijakan negeri ini kini diam-diam beralih menjadi pedagang. Sementara pedagang produk lokal juga beralih sebagai pedagang produk impor, terutama produk China.
Rakyat selaku konsumen pun menyambut gembira dapat membeli barang-barang dengan harga murah. Ini bisa terjadi karena prinsip pedagang grosiran tekstil asal China adalah untung sedikit tak apa, yang penting dagangan cepat laku dan kontinu.
Prinsip sederhana ini terungkap di dalam perbincangan dengan tujuh pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Para pedagang ini ternyata kental sekali dengan semangat tokoh reformasi China, Deng Xiaoping dan Zhu Rongji.
Presiden China Deng Xiaoping seusai mengadakan perjalanan ke selatan tahun 1992 berpidato untuk mendorong percepatan modernisasi China. Pidato Deng yang memicu pertumbuhan ekonomi pasar China adalah sikap tegas membiarkan daerah tertentu menjadi lebih kaya terlebih dahulu.
Perjalanan ke selatan serta pidato Deng mengenai ekonomi pasar memicu pergerakan petani. Berbekal kartu tanda penduduk dan sejumlah uang, para petani di wilayah-wilayah pedalaman menuju ke kota-kota yang sedang giat-giatnya membangun.
Laurence J Brahm dalam bukunya, Zhu Rongji and the Transformation of Modern China, menyebutkan tujuan pokok Perdana Menteri Zhu Rongji adalah membangun China dengan membongkar struktur tradisional pedesaan, pertama-tama menciptakan pasar domestik bagi produk China. Dengan demikian, menciptakan pendapatan masyarakat pedesaan demi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Di bawah kepemimpinannya, perspektif komunis menuju liberalis bukan sekadar pembaharuan. Pembangunan dibikin terfokus. Bukan cuma mementingkan pertumbuhan, tetapi juga memiliki perencanaan.Karakter China juga berupa keahlian membidik pasar. Tentu, pengalaman jatuh dan bangun melahirkan kepekaan ini, kata Lim Kiat Swie, sesepuh pedagang Tanah Abang.
Persoalan harga produk murah merupakan sebuah pilihan. Kalau tidak mau beli yang murah, belilah ke toko-toko elite. Sebab, China pun sebetulnya sudah menjual barang murahnya ke toko elite itu.Karakteristik lain, sejak lahir bangsa China sudah jaring laba-laba kekeluargaan di dalam negeri maupun luar negeri.
Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat persatuan dan sangat membuka peluang kerja sama. Tak heran, orang China hanya memercayakan usahanya kepada bangsanya sendiri.
Bahkan, sikap itu diperluas ke jaringan bisnis. Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang dengan cepat mengirim barang sesuai dengan pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski konsumen belum memberikan uang muka.
Introspeksi Buat Bangsa Kita
Banjirnya produk China harus jadi bahan introspeksi. Apa yang salah dengan kondisi Indonesia? Apa yang harus diperbaiki?
Produsen tekstil Indonesia yang terpukul, terutama yang memproduksi kain katun, rayon, jins, dan poliester halus. Sejak lima tahun ini sentimen terhadap tekstil selalu negatif.Dahulu, prospek usaha tekstil mulai dari pemintalan (spinning), penenunan (weaving), proses final tekstil, garmen, hingga perdagangan masih cerah. Produk lokal masih bisa mengimbangi.
Namun, begitu produk China membanjiri pasar dengan harga murah, model memikat, dan trendi, produsen tekstil lokal rontok. Semua usaha garmen terpukul. Kalah bersaing, terutama dari aspek harganya.
Perdagangan tekstil betul-betul rusak. Sebab, jaring perdagangan menyebabkan penyebarannya merata ke seluruh penjuru daerah. Semua orang berdagang, tanpa memperhitungkan titik jenuh pasar. Akhirnya, tekstil lokal dilibas.
Sebagian besar pedagang menyebutkan, akar permasalahan terletak pada peraturan ketenagakerjaan. Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang mengimpit proses produksi, seperti kenaikan bahan bakar minyak, pajak, dan retribusi. Diperparah lagi dengan pungutan liar.
Sekali lagi, kita tidak bisa menutup mata. Aturan ketenagakerjaan, terutama masalah upah, menyebabkan sebagian besar pengusaha tekstil dan garmen di negeri ini gelisah. Mereka beralih menjadi pedagang karena pusing memikirkan buruhnya yang sebentar-sebentar demonstrasi. Mogok kerja.
Ada juga pengusaha tekstil yang mengimbangi dengan menghidupkan pabriknya secara optimal di luar negeri, seperti di China. Mengejar peningkatan produksi di China menjadi lebih terjamin karena buruh patuh, taat pada jam kerja, dan cekatan beradaptasi dalam desain baru. Inilah cara bertahan di negeri ini, kata Ruddy, pedagang tekstil.
Chotibul Umam, pengusaha konfeksi di Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengaku stok pakaian jadinya terus ditolak. Kondisi ini sudah terjadi hampir tiga bulan ini. Hampir setengah penjahit saya sudah diberhentikan dulu, kata Chotibul, yang memiliki tenaga kerja 10 orang.
Kini waktunya untuk koreksi diri dan segera mengambil langkah untuk berbenah diri. Ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah dan juga semua komponen yang berkepentingan di negeri ini.
Negeri Tirai Bambu itu bukan cuma menjadi produsen skala besar, tetapi juga telah membangun sebuah jaringan perdagangan yang kuat dan terpadu di seluruh dunia.
Kita tidak bisa menutup mata. Bagi banyak orang, produk China dari peniti, mainan anak, tekstil, elektronik, kedokteran hingga suku cadang otomotif jelas sekali menguntungkan.
Produsen berbagai produksi yang kelimpungan menghadapi berbagai kebijakan negeri ini kini diam-diam beralih menjadi pedagang. Sementara pedagang produk lokal juga beralih sebagai pedagang produk impor, terutama produk China.
Rakyat selaku konsumen pun menyambut gembira dapat membeli barang-barang dengan harga murah. Ini bisa terjadi karena prinsip pedagang grosiran tekstil asal China adalah untung sedikit tak apa, yang penting dagangan cepat laku dan kontinu.
Prinsip sederhana ini terungkap di dalam perbincangan dengan tujuh pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Para pedagang ini ternyata kental sekali dengan semangat tokoh reformasi China, Deng Xiaoping dan Zhu Rongji.
Presiden China Deng Xiaoping seusai mengadakan perjalanan ke selatan tahun 1992 berpidato untuk mendorong percepatan modernisasi China. Pidato Deng yang memicu pertumbuhan ekonomi pasar China adalah sikap tegas membiarkan daerah tertentu menjadi lebih kaya terlebih dahulu.
Perjalanan ke selatan serta pidato Deng mengenai ekonomi pasar memicu pergerakan petani. Berbekal kartu tanda penduduk dan sejumlah uang, para petani di wilayah-wilayah pedalaman menuju ke kota-kota yang sedang giat-giatnya membangun.
Laurence J Brahm dalam bukunya, Zhu Rongji and the Transformation of Modern China, menyebutkan tujuan pokok Perdana Menteri Zhu Rongji adalah membangun China dengan membongkar struktur tradisional pedesaan, pertama-tama menciptakan pasar domestik bagi produk China. Dengan demikian, menciptakan pendapatan masyarakat pedesaan demi mendukung pertumbuhan ekonomi.
Di bawah kepemimpinannya, perspektif komunis menuju liberalis bukan sekadar pembaharuan. Pembangunan dibikin terfokus. Bukan cuma mementingkan pertumbuhan, tetapi juga memiliki perencanaan.Karakter China juga berupa keahlian membidik pasar. Tentu, pengalaman jatuh dan bangun melahirkan kepekaan ini, kata Lim Kiat Swie, sesepuh pedagang Tanah Abang.
Persoalan harga produk murah merupakan sebuah pilihan. Kalau tidak mau beli yang murah, belilah ke toko-toko elite. Sebab, China pun sebetulnya sudah menjual barang murahnya ke toko elite itu.Karakteristik lain, sejak lahir bangsa China sudah jaring laba-laba kekeluargaan di dalam negeri maupun luar negeri.
Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat persatuan dan sangat membuka peluang kerja sama. Tak heran, orang China hanya memercayakan usahanya kepada bangsanya sendiri.
Bahkan, sikap itu diperluas ke jaringan bisnis. Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang dengan cepat mengirim barang sesuai dengan pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski konsumen belum memberikan uang muka.
Introspeksi Buat Bangsa Kita
Banjirnya produk China harus jadi bahan introspeksi. Apa yang salah dengan kondisi Indonesia? Apa yang harus diperbaiki?
Produsen tekstil Indonesia yang terpukul, terutama yang memproduksi kain katun, rayon, jins, dan poliester halus. Sejak lima tahun ini sentimen terhadap tekstil selalu negatif.Dahulu, prospek usaha tekstil mulai dari pemintalan (spinning), penenunan (weaving), proses final tekstil, garmen, hingga perdagangan masih cerah. Produk lokal masih bisa mengimbangi.
Namun, begitu produk China membanjiri pasar dengan harga murah, model memikat, dan trendi, produsen tekstil lokal rontok. Semua usaha garmen terpukul. Kalah bersaing, terutama dari aspek harganya.
Perdagangan tekstil betul-betul rusak. Sebab, jaring perdagangan menyebabkan penyebarannya merata ke seluruh penjuru daerah. Semua orang berdagang, tanpa memperhitungkan titik jenuh pasar. Akhirnya, tekstil lokal dilibas.
Sebagian besar pedagang menyebutkan, akar permasalahan terletak pada peraturan ketenagakerjaan. Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang mengimpit proses produksi, seperti kenaikan bahan bakar minyak, pajak, dan retribusi. Diperparah lagi dengan pungutan liar.
Sekali lagi, kita tidak bisa menutup mata. Aturan ketenagakerjaan, terutama masalah upah, menyebabkan sebagian besar pengusaha tekstil dan garmen di negeri ini gelisah. Mereka beralih menjadi pedagang karena pusing memikirkan buruhnya yang sebentar-sebentar demonstrasi. Mogok kerja.
Ada juga pengusaha tekstil yang mengimbangi dengan menghidupkan pabriknya secara optimal di luar negeri, seperti di China. Mengejar peningkatan produksi di China menjadi lebih terjamin karena buruh patuh, taat pada jam kerja, dan cekatan beradaptasi dalam desain baru. Inilah cara bertahan di negeri ini, kata Ruddy, pedagang tekstil.
Chotibul Umam, pengusaha konfeksi di Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mengaku stok pakaian jadinya terus ditolak. Kondisi ini sudah terjadi hampir tiga bulan ini. Hampir setengah penjahit saya sudah diberhentikan dulu, kata Chotibul, yang memiliki tenaga kerja 10 orang.
Kini waktunya untuk koreksi diri dan segera mengambil langkah untuk berbenah diri. Ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah dan juga semua komponen yang berkepentingan di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar