INILAH.COM, Seattle - Mengapa anak imigran negara Asia bisa menjadi anak didik terbaik di Amerika? pertanyaan yang ini terus bermunculan di ruang keluarga penduduk AS.
Di Washington-Seattle saja, sudah menjadi kecenderungan umum bahwa anak-anak imigran dari Asia (China, Korea, Vietnam, India, Timur Tengah dan sebagainya) makin banyak yang mendominasi juara kelas atau terbaik di sekolah-sekolah AS dari SD (sekolah dasar) sampai perguruan tinggi.
Para imigran dari Asia di AS umumnya memiliki nasib yang sama, orang tua mereka. apakah itu pekerja kasar, pengusaha atau profesional, yang selalu ingin anaknya maju. Dan pengalaman mereka tumbuh di tengah keragaman, pluralitas sosial.
Bahkan di kalangan pebisnis, kepindahan mereka di AS sangat dipengaruhi keinginan untuk mengejar pendidikan dan mimpi Amerika (American Dream) sebagai kaum sukses secara ekonomi melalui pendidikan.
Di Washington Seattle, banyak pula keturunan imigran Asia dan Timur Tengah yang bekerja sebagai profesional di Boeing, Microsoft dan Google atau perusahaan besar lainnya, dengan kemapanan ekonomi yang jauh lebih baik dibandingkan ketika mereka hidup di negeri asal mereka sendiri.
''Orang-orang Asia dan Timur Tengah bekerja sebagai profesional di Boeing, Microsoft, Google, menjadi contoh imigran sukses dan mereka suka pulang menengok orang tua di Tanah Air mereka,'' kata M Shamir, mahasiswa program studi MBA, keturunan Saudi Arabia di Seattle.
Anak-anak Asia, apalagi para imigrannya di AS, umumnya bersedih atau tak puas jika di sekolah mendapat nilai B, maunya A semua. Lihatlah anak-anak keturunan China, India dan Iran, Arab atau Indochina dan Indonesia, mereka belajar secara tekun untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan anak-anak bule. “Hasilnya, mereka menjadi juara di sekolah, terutama ilmu eksakta (sains, ilmu pasti, matematika), terutama anak-anak keturunan China yang umumnya tekun belajar,” tambah M Samy, eksekutif keturunan India yang mengelola sebuah perusahaan komputer di Los Angeles, California.
“Orang tua saya menginginkan saya mendapatkan pendidikan, menjadi orang 'terhormat dan profesional' dan tidak perlu melakukan 'kerja paksa,” imbuh Pen Khek Cher, anak pengungsi Kamboja yang lari ke AS. Pen adalah imigran yang memperoleh gelar Master dari Boston University dan kini hidup mapan di kawasan pantai timur AS.
Bagaimanapun, orang tua anak anak imigran ingin mereka unggul melalui pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang baik dan hidup lebih nyaman daripada orangtua mereka. Anak-anak mengakui bahwa orangtua mereka telah mengorbankan akhir pekannya dengan bekerja sepanjang waktu sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
Laporan National Foundation for American Policy (NFAP), sebuah kelompok penelitian nirlaba di Arlington, Virginia, menyatakan bahwa banyak orang tua imigran sangat menekankan sains dan matematika untuk anak-anak mereka. Pasalnya, mereka melihat bidang tersebut sebagai jalur menuju sukses ekonomi.
Hampir 70 persen finalis dalam kompetisi sains bergengsi di AS pada 2011 diraih anak-anak imigran, meningkat dibandingkan 2010. Menurut penelitian terbaru Universitas Georgetown tentang nilai sarjana, pendapatan tahunan rata-rata untuk sarjana teknik dari kalangan imigran yang lulus dengan nilai baik adalah US$75.000 dibandingkan US$29.000 untuk sarjana konseling atau psikologi. Penelitian tersebut menemukan bahwa yang tertinggi diduduki insinyur perminyakan dengan pendapatan tahunan rata-rata US$120.000.
Di 2011 anak-anak imigran mengambil 70 persen kursi finalis dalam Intel Science Talent Search Competition, kompetisi penelitian orisinal untuk tingkat SMA. Dari 40 finalis, 28 memiliki orang tua yang lahir di negara lain, 16 dari China, 10 dari India, 1 dari Korea Selatan, dan 1 dari Iran.
Berbagai penelitian menemukan bahwa "ada apresiasi yang tinggi terhadap anak-anak dari kalangan imigran yang berprestasi. Mereka mengaku salut atas pengorbanan orang tua demi memastikan bahwa anak anak mereka memiliki pendidikan yang bagus, karier yang sukses dan menjalani kehidupan normal di AS, tanah air kedua mereka."
Para anak imigran mampu memilih perguruan tinggi yang bagus dan menggapai karier yang memungkinkan mereka meraih kembali ‘American Dream’ yang masih hidup dalam keluarga imigran.
Dalam konteks ‘American Dream’ itu, dari Indonesia, salah satu imigran yang sukses mewujudkan impiannya di AS adalah Prof Nelson Tansu Ph.D. Dia dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, 20 Oktober 1977. Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS.
Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada 1995 dan juga menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
Setelah menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude.
Setelah menyelesaikan program S-1 pada 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor (PhD) di bidang electrical engineering pada Mei 2003.
Selama menyelesaikan program doktor, Prof Nelson memperoleh berbagai prestasi gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructures juga meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award.
Setelah memperoleh gelar PhD, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan sebuah universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Amerika Serikat.
Kini ‘American Dream’ terus melanda jutaan imigran di AS yang bersaing demi harkat, martabat dan harga diri Asia di mata rakyat Amerika. “Di Amerika, prestasi dan meritokrasi berjalan baik, sehingga anak-anak imigran yang berprestasi, direkrut sebagai ahli atau pakar atau pengajar dengan apresiasi yang optimal dari pemerintah atau kalangan swasta/dunia usaha untuk meneruskan ‘American Dream’ yang tak pernah henti demi kejayaan Amerika.
“Anak-anak kita semua diarahkan para pemimpin untuk mengejar 'American Dream', maka harus tekun belajar dan kelak bekerja,'' kata Yani Soehedi, istri Ir Agung Soehedi, seorang insinyur di Boeing Company jebolan IPTN yang menanjak sebagai kelas menengah di negeri Obama ini.
http://web.inilah.com/read/detail/1838745/american-dream-di-tangan-imigran-as
Tidak ada komentar:
Posting Komentar